Beranda | Artikel
Syarat Berpuasa bagi Orang yang Itikaf
Sabtu, 23 April 2022

Pembahasan Kesembilan
Syarat Berpuasa bagi Orang yang I’tikaf

Pendapat para ahli fiqih:

  1. Madzhab asy-Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri dan termasuk pendapat Sa’id bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, ‘Atha’, Thawuus, Abu Tsaur dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, mereka berpendapat bahwa puasa bukan syarat sahnya i’tikaf. Karena puasa dan i’tikaf dua ibadah yang terpisah. Pendapat ini juga dinisbatkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma dan satu riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
  2. Madzhab Malik, Auza’i, Ats-Tsauri, al-Laitsi bin Sa’ad, az-Zuhri, satu riwayat dari Thawus, satu riwayat dari Ahmad dan Ishaq, mereka berpendapat tidak boleh melakukan i’tikaf kecuali orang yang berpuasa. Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan dalam riwayat lain disebutkan ini adalah pendapat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
  3. Abu Hanifah menetapkan bahwa i’tikaf hanya untuk orang yang bernadzar saja.

Pentingnya syarat ini bahwa apabila kita pegang pendapat kedua berarti orang yang beri’tikaf wajib berpuasa dan ini juga berarti bahwa i’tikaf tidak boleh dilakukan pada malam hari atau beberapa saat di malam hari dan hanya boleh dilakukan pada siang hari atau beberapa saat pada siang hari. Walaupun demikian telah kami singgung beberapa pendapat fuqaha’ tentang batas waktu i’tikaf, yakni satu hari penuh menurut pendapat yang paling sedikit. Jika kita tidak mengambil pendapat yang mensyaratkan puasa untuk i’tikaf berarti boleh melakukan i’tikaf kapan saja, baik di waktu malam maupun siang.

Dalil-dalil yang mencantumkan syarat berpuasa untuk i’tikaf

  1. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa semasa Jahiliyyah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah bernadzar untuk beri’tikaf di Masjidil Haram, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَوْفِ نَذْرَكَ فَاعْتَكِفَ لَيْلَةً.

Laksanakan nadzarmu dan lakukan i’tikaf selama satu hari.”

Dan dalam riwayat Muslim, ‘Umar berkata, “Sesungguhnya aku bernadzar untuk beri’tikaf satu hari.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِذْهَبْ فَاعْتَكِفْ يَوْمًا.

       “Pergilah lakukan i’tikaf sehari.”[1]

  1. Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni satu hadits dari Suwaid bin ‘Abdil ‘Aziz dari Sufyan bin Husain dari az-Zuhri (Ibnu Syihab) dari ‘Urwah bin az-Zubair dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ بِصِيَامٍ.

Tidak ada i’tikaf kecuali dibarengi dengan puasa.

Ad-Daraquthni rahimahullah berkata, “Jalur hadits ini hanya berasal dari Suwaid.” Dan an-Nawawi berkata, “Suwaid dha’if menurut kesepakatan para ahli hadits.”[2]

  1. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Badil bin Waraqa’ dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang i’tikaf yang harus ia lakukan, lalu beliau memerintahkan untuk melakukan i’tikaf dan berpuasa.

Hadits riwayat Abu Dawud dan ad-Daraquthni, ia berkata, “Hadits tersebut diriwayatkan hanya melalui jalur Ibnu Badil dan ia dha’if.” Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِعْتَكِفْ وَصُمْ.

Lakukan i’tikaf dan berpuasalah.

Ad-Daraquthni rahimahullah berkata, “Aku pernah mendengar Abu Bakar an-Naisaburi berkata, ‘Hadits ini munkar.’”

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Hadits ini tidak shahih karena ‘Abdullah bin Waraqa’ perawi majhul (tidak diketahui identitasnya) dan hadits ini sama sekali tidak diketahui berasal dari musnad ‘Amr bin Dinar.”

Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata dalam memberikan penjelasan untuk hadits ini, “Ibnu Ma’in berkomentar tentang Ibnu Badil, ia adalah seorang yang shalih dan Ibnu Hibban mencantumkannya dalam kitabnya ats-Tsiqaat.”[3]

Kesimpulannya, menurut pendapat yang tidak menerima pendapat ini: Tambahan kata “berpuasalah” adalah tambahan yang tidak dapat diterima sebab termasuk tambahan syadz dan derajatnya tidak dapat dikuatkan oleh riwayat-riwayat shahih yang di dalamnya tidak tercantum tambahan “dan berpuasalah.”

  1. Hadits Thawus dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa-sanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلاَّ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ.

Orang yang sedang i’tikaf tidak wajib berpuasa kecuali jika ia wajibkan terhadap dirinya sendiri.

Hadits riwayat al-Hakim di dalam al-Mustadrak dan ia berkata, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan ia berkata, “Perawi ini memarfu’kan sanadnya sementara yang lainnya tidak.” Yang ia maksud perawi di sini adalah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq as-Susi.”[4]

  1. Dari riwayat ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa beliau mewajibkan orang yang i’tikaf untuk berpuasa. Ibnu Hazm menyebutkan riwayat ini dari Ibnu ‘Abbas dan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhum.[5]
  2. Dari Ibnu Suhail bin Malik rahimahullah, ia berkata, “Salah seorang isteriku harus melakukan i’tikaf, lalu masalah ini aku tanyakan kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ia menjawab, ‘Bagi yang hendak i’tikaf tidak wajib berpuasa kecuali jika ia mewajibkannya atas dirinya.’”

Lalu az-Zuhri rahimahullah berkata, “Tidak ada i’tikaf kecuali jika dibarengi dengan puasa.”

Lantas ‘Umar (bin ‘Abdil ‘Aziz-pent) bertanya, “Apakah ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Az-Zuhri berkata, “Tidak.”

‘Umar berkata, “Apakah dari Abu Bakar?” Az-Zuhri berkata, “Tidak.”

‘Umar berkata, “Ataukah dari ‘Utsman bin ‘Affan?” Az-Zuhri menjawab, “Tidak.”

Abu Suhail berkata, “Kemudian aku menemui Thawus dan ‘Atha’, lalu aku tanyakan tentang masalah tersebut kepada mereka berdua. Thawus berkata, ‘Dahulu si fulan (yakni seorang Sahabat yang tidak sempat ia dengar haditsnya) berpendapat tidak wajib puasa (ketika beri’tikaf) kecuali jika puasa tersebut ia wajibkan terhadap dirinya sendiri.’ Dan ‘Atha’ berkata, ‘Ia tidak wajib berpuasa kecuali jika puasa itu ia wajibkan terhadap dirinya sendiri.’”

Dalam riwayat lain bahwa seorang Sahabat yang disebutkan Thawus adalah Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.[6]

  1. Dari ‘Abdurrahmaan bin Ishaq[7] dari az-Zuhri dari ‘Aisyah Radhihyallahu anhuma, ia berkata:

مِـنَ السُّنَّةِ عَلَى مُعْتَكِفٍ أَنْ لاَ يَعُوْدَ مَرِيْضًا، وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا، وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَـةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِـنْهُ، وَلاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ، وَلاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ.

Termasuk Sunnah jika seorang yang sedang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak mengantar jenazah, tidak berhubungan dan bercumbu dengan isterinya, tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan yang sangat penting, tidak ada i’tikaf kecuali di-barengi dengan puasa dan tidak ada i’tikaf kecuali di dalam masjid jami’.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Baihaqi dan lain-lain. Para ulama berselisih pendapat mengenai dibolehkannya berhujjah dengan hadits ‘Abdurrahman bin Ishaq. Namun mayoritas mereka tidak mengambil haditsnya sebagai hujjah.

Abu Dawud berkata, “Selain riwayat ‘Abdurrahman tidak ada yang menyebut kalimat, ‘Termasuk sunnah.’ Perawi lain selain ‘Abdurrahman hanya menisbatkannya kepada perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh an-Nasa-i dari hadits Yunus bin Yazid tidak tercantum: ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Termasuk Sunnah…” An-Nasa-i juga meriwayatkan hadits ini dari Malik dan juga tidak tercantum kalimat ini.

Ad-Daraquthni berkata, “Termasuk…. dan seterusnya, bukanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dari perkataan az-Zuhri. Barangsiapa yang memasukkan ke dalam matan hadits berarti ia telah keliru.”

Al-Baihaqi berkata, “Mayoritas para hafizh berpendapat bahwa perkataan tersebut adalah perkataan perawi setelah ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan barangsiapa yang memasukkannya ke dalam matan hadits berarti ia telah melakukan kesalahan.”[8]

  1. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lain dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, beliau melaksanakan shalat Fajar, lalu masuk ke tempat i’tikafnya. Lalu beliau memerintah-kan untuk mendirikan kemahnya. Maka para Sahabat pun mendirikannya. Di saat beliau hendak beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Zainab memerintahkan agar didirikan untuknya sebuah kemah, maka kemahnya pun didirikan. Lantas isteri beliau yang lain juga minta untuk didirikan kemahnya, maka kemah mereka pun didirikan. Di saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak shalat Shubuh, beliau melihat beberapa kemah seraya bersabda, ‘Apakah kalian ingin mencari kebaikan?’ Lalu beliau menyuruh untuk membongkar kembali kemahnya dan tidak jadi melakukan i’tikaf pada bulan Ramadhan hingga beliau beri’tikaf pada sepuluh hari di awal bulan Syawwal.[9]

Dalil yang diambil dari hadits ini ada dua hal:

Pertama: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (i’tikaf pada sepuluh hari di awal bulan Syawwal) dan termasuk di dalamnya hari ‘Id yang merupakan hari yang diharamkan berpuasa menurut kesepakatan ulama.

Kedua: Dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa pada sepuluh hari tersebut. Oleh karena itu, tidak sah apabila hukum dibuat tanpa ada dasar dalil yang jelas. Jika tidak, tentunya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Beliau berpuasa dan beri’tikaf.” Mungkin inilah dalil terkuat yang menunjukkan bahwa i’tikaf tidak harus disertai dengan puasa.

  1. Diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari ‘Ali, dan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma dengan sanadnya sendiri bahwa mereka berdua melakukan i’tikaf namun tidak berpuasa, terkecuali ia mewajibkannya terhadap dirinya sendiri.[10]
  2. Termasuk sunnah yang dianjurkan para fuqaha’ bahwa orang yang sedang i’tikaf tetap di tempat i’tikaf hingga ia melaksanakan shalat ‘Id. Dikatakan bahwa hal itu termasuk Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti pada malam ‘Id masih tetap dalam i’tikaf, yakni malam yang pada siang harinya dilarang untuk berpuasa. Demikian juga ia masih beri’tikaf beberapa saat pada pagi hari ‘Id, yaitu hari yang diharamkan berpuasa. Itu artinya beliau beri’tikaf sambil berpuasa dalam beberapa saat. Apabila puasa bukanlah syarat sah i’tikaf pada beberapa saat di siang hari berarti juga bukan syarat untuk satu hari penuh.
  3. Terfikir olehku bahwa jika seorang yang bepergian menuju Masjidil Haram dan sam-pai di tempat pada siang hari dengan niat i’tikaf, apakah i’tikafnya sah atau tidak? Jika dikatakan bahwa ia mengambil dispensasi dibolehkannya berbuka bagi musafir, berarti i’tikafnya sah dan berarti puasa bukan syarat sahnya i’tikaf. Apabila kita katakan bahwa i’tikaf tidak sah berarti kita melarangnya i’tikaf tanpa dalil. Wallaahu a’lam.

Kesimpulan
Zhahirnya bahwa mengambil pendapat yang mengatakan bahwa puasa bukanlah syarat sah i’tikaf lebih utama (daripada pendapat yang mengatakannya sebagai syarat sah i’tikaf). Hanya saja untuk keluar dari perselisihan tersebut, perintah untuk puasa adalah perintah mustahab, baik puasa nadzar maupun puasa sunnah. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad, yakni i’tikaf di selain bulan Ramadhan tanpa dibarengi dengan puasa adalah perkara yang dibolehkan. Wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit  Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari (IV/274, no. 2032). ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhuma pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sewaktu Jahiliyyah ia pernah bernadzar untuk beri’tikaf satu hari di Masjidil Haram. Lalu beliau bersabda, “Laksanakan nadzarmu!”
Dalam riwayat lain (no. 2043) ‘Umar berkata, “Menurut perkiraanku beliau mengatakan ‘sehari’” yakni ‘Umar ragu mengenai kata “sehari.” Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dengan tanpa keraguan dari ‘Umar.
[2] Seorang muhaddits ‘Azhim Abadi penulis ta’liq kitab al-Mughni berkata, “Al-Baihaqi mengatakan, ‘Kekeliruan ini berasal dari Sufyan bin Husain atau dari Suwaid bin ‘Abdil ‘Aziz dan Suwaid sendiri perawi dha’if tidak diterima haditsnya jika tidak ada jalur lain selain dia.’ Kemudian ia berkata tentang Suwaid, ‘Mayoritas ulama mendha’ifkan Suwaid.” Lihat Sunan ad-Daraquthni (II/200).
[3] Muktashar Musnad Abu Dawud (III/350) lihat catatan kaki penjelasan hadits no. 2365 pada halaman yang sama.
[4] Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Syaikh adalah ‘Abdullah bin Muhammad ar-Ramli. Ini dapat disimpulkan dari komentar muhaddits ‘Azhim Abadi bahwa keliru jika sanad hadits ini dimarfu’kan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sebenarnya perkataan ini adalah perkataan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuhma. Jika Anda mau silahkan baca Sunan ad-Daraquthni (II/192) dan Syarh Mukhtashar Abi Dawud (III/347).
[5] Al-Muhallaa (V/182) kedua perkara ini diriwayatkan dari ‘Atha’ dan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
[6] Al-Muhallaa (V/181), Ta’liiqul Mughni (II/199).
[7] Syaikh al-Muthi’i berkata dalam Haasyiyah al-Majmuu’ dari ‘Abdurrahman dan Ishaq berkata, “Berkata Ahmad, ‘Haditsnya shalih.’ Ia meriwayatkan hadits dari Abu Zinad dan lain-lain. Abu Dawud berkata, ‘Ia perawi yang tsiqah, hanya saja ia seorang yang ber’aqidah Qadariyyah.’ Ad-Daraquthni berkata, ‘Ia dha’if.’ Al-Qaththan berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada penduduk Madinah, ternyata tidak ada dari mereka yang memujinya.’ Dan Yahya bin Ma’in berkata, “Ia tsiqah.” Di tempat lain ia berkata, ‘Haditsnya shalih.’ Diriwayatkan oleh ‘Utsman dari Yahya, ia berkata, ‘Ia tsiqah.’ Dan Ibnu ‘Uyainah menyangka bahwa ia ber’aqidah Qadaiyyah namun ditampik oleh penduduk Madinah. Lalu Maqtal al-Walid datang kepada kami, namun ia tidak mau duduk bersama ‘Abdurrahman bin Ishaq. ‘Abdul Haqq berkata, “Tidak dapat dijadikan hujjah.” Abu Dawud berkomentar tentangnya, “Dia disebut ‘Ubbad.” Muslim mengeluarkan riwayat ‘Abdurrahman di dalam Shahiihnya dan ia ditsiqahkan oleh Yahya bin Ma’in dan ulama lain juga memberikan pujian kepadanya, seperti al-‘Ijli, Ibnu Hibban dan sebagian ulama lain masih memperbincangkan ketsiqahannya. Lihat adh-Dhu-a’afaa’ (I/32, no. 910) karya ‘Uqaili.
[8]  Abdurrazzaq dalam kitab Mushannafnya dari jalur ats-Tsauri dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya. Pada hadits no. 8054 ia mencantumkan dari hadits ‘Urwah. Dan diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (no. 11) dalam bab al-I’tikaaf (II/201). Terdapat hadits-hadits lainnya yang mencantumkan lafazh yang berbeda. Lafazh ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (III/343, no. 2363) dalam Mukhtashar as-Sunnah.
[9] HR. Al-Bukhari kitab al-‘Itikaaf (no. 2033). Muslim (VIII/ 68-69) kitab al-‘Itikaaf dan ini adalah lafazh Muslim.
[10] Al-Muhallaa (V/181) Ibnu Hazm.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54887-syarat-berpuasa-bagi-orang-yang-itikaf.html